Alokasi kredit perbankan tercatat lebih banyak untuk kepentingan pengusaha menengah dan besar. Dana publik hanya beredar di antara pengusaha besar dan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.
Strategi pembiayaan ekonomi pemerintah selama ini masih memunculkan ketidakadilan. Pasalnya, pembiayaan yang dijalankan hanya menguntungkan kelompok usaha menengah atas. Alokasi kredit perbankan tercatat lebih banyak untuk kepentingan pengusaha menengah dan besar ketimbang mengangkat kehidupan rakyat miskin. Dana publik hanya beredar di antara pengusaha besar dan sama sekali tidak berpihak kepada ekonomi rakyat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan lebih banyak terjadi pada sektor pertanian. Sebesar dua pertiga angka kemiskinan di Indonesia ada di pedesaan. Sementara 90% masyarakat desa adalah petani. Namun, hingga hari ini perbankan masih belum memihak dan memerhatikan nasib petani.
Contohnya, mayoritas petani di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, belum merasakan keberpihakan perbankan dalam menyalurkan kredit. Ketidakjelasan respons perbankan menyebabkan petani enggan mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan tersebut. Hanya kurang dari 5% petani yang telah merasakan kucuran kredit perbankan. Selebihnya masih mengandalkan jasa para “pelepas uang”, seperti rentenir atau tengkulak.
Kesulitan mendapat kredit perbankan bukan hanya dirasakan para petani. Nasib serupa pun dialami para nelayan miskin. Menurut Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Yussuf Solidhien, perbankan nasional pada tahun 2010 baru menyalurkan kredit untuk usaha perikanan sebesar 0,02% dari total kredit perbankan nasional. “Perbankan nasional masih belum mau memberikan pinjaman modal kepada nelayan dengan alasan risiko tinggi dan tidak bankable,” kata Yussuf.
Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau Kredit Usaha Tani (KUT). Namun, dalam pelaksanaannya, petani maupun nelayan masih sangat sulit memperoleh kredit. Pasalnya, bank pelaksana tetap meminta agunan dari nelayan walaupun pinjamannya di bawah Rp20 juta. “Padahal sesuai Keppres tentang KUR, pinjaman di bawah Rp20 juta tidak memerlukan agunan,” ujar Yussuf.
Prosedur birokrasi perbankan yang berbelit-belit membuat masyarakat kecil, khususnya petani dan nelayan, sulit mendapatkan kredit. Belum lagi bunga yang diberikan bemasih sangat tinggi, berkisar 14% per tahun. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, bunga di Indonesia masih sangat tinggi. Untuk mendukung pertanian dan perikanan, bunga perbankan Jepang hanya 0,5%, Korea 2%, Cina 2,5%, Australia 3%, bahkan Thailand, Malaysia, dan Filipina hanya 3,8%.
Menurut Sadar Subagyo, anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra, secara umum perbankan memang menyalurkan dana dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat. “Perbankan adalah institusi yang menyerap kelebihan dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito, dan lain-lain serta menyalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk pinjaman,” katanya kepada Gema Indonesia Raya.
Namun, untuk menyalurkan pinjaman itu, kata Sadar Subagyo, perbankan menerapkan hukum besi. Yaitu feasible (layak diberi pinjaman) dan bankable (memiliki jaminan). Dua hal inilah yang menjadi dasar bagi perbankan untuk memberi pinjaman (kredit) kepada nasabah. “Skema apapun yang dibuat oleh pemerintah menjadi mubazir bila dua hal itu tidak tersentuh dan tertangani dengan baik,” ujar Sadar Subagyo. Skema pemerintah yang dimaksud seperti KUR atau KUT.
Nah, apabila perbankan ingin berpihak kepada rakyat kecil, maka rakyat kecil itu mesti diberdayakan dahulu. “Secara sederhana pemerintah harus membuat rakyatnya menjadi bankable. Baru kemudian pemerintah membuat program- program perbankan untuk rakyat,” jelas Sadar Subagyo.
Atas dasar itu, Sadar menyatakan bahwa wajar apabila rakyat kecil, seperti petani dan nelayan, masih sulit mendapatkan kredit perbankan. Pasalnya, petani dan nelayan masih belum bankable. Sadar mencontohkan, petani sudah memiliki usaha tani yang layak, dan dari usaha itu mampu mengembalikan pinjaman. Namun, petani tidak mempunyai jaminan (collateral). Padahal petani memiliki lahan. Sayangnya, lahan itu tidak bisa dijadikan jaminan karena belum bersertifikat.
Persyaratan agunan antara lain sertifikat kepemilikan tanah. Bagi petani sertifikat ini menjadi masalah utama. Sebab, sawah atau lahan pada umumnya masih berstatus girik atau paling tinggi akta jual-beli. Jarang sekali sawah atau lahan pertanian yang memiliki sertifikat. Inilah ganjalan utama mendapatkan kredit.
Sebagai jalan keluarnya, lanjut Sadar Subagyo, pemerintah harus melayani pembuatan sertifikat lahan milik petani secara gratis (tanpa dipungut bayaran). “Jika pemerintah menggratiskan sertifikasi tanah petani, otomatis pemerintah membuat petani menjadi bankable. Dengan demikian otomatis petani akan terjangkau oleh perbankan,” kata Sadar Subagyo. Maka, mungkin tak ada keluhan petani sulit mendapatkan kredit perbankan.