Keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang melarang peredaran 5 buah buku terus dikritik. Pelarangan itu dinilai mirip tren Orde Baru.
“Penarikan 5 buku oleh Kejaksaan Agung ada tren ke arah Orde Baru,” kata anggota Komnas HAM Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan, Yosep Adi Prasetyo, di sela-sela sidak buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’ di Gramedia Gran Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (29/12/2009).
Dikatakan dia, penarikan dilakukan tertutup dan tidak terbuka. Masyarakat tidak tahu pengambilan keputusan oleh Kejaksaan. “Ini sama saja mempersempit ruang publik. Kalau ada lagi pelarangan-pelarangan buku, rezim itu mundur kembali ke Orde Baru,” ujar dia.
Pria yang akrab disapa Stanley ini menuturkan, Komnas HAM sudah menyampaikan surat kepada Jaksa Agung meminta klarifikasi seputar penarikan 5 buku tersebut.
Komnas HAM juga akan membentuk tim untuk mengkaji sejauh mana mekanisme pelarangan penerbitan buku oleh Kejaksaan Agung.
“Kalau memang prosedurnya melanggar hak asasi manusia, kita akan beri rekomendasi ke Presiden, DPR, dan Jaksa Agung agar dibentuk UU Mekanisme Penarikan Buku,” kata Yosep.
Kelima buku yang dilarang beredar adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.
Buku-buku itu dilarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila.(Detik.com)