Sejumlah kalangan masyarakat sipil tergabung dalam Masyarakat Pers Indonesia mendeklarasikan penolakan resmi mereka atas rumusan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, yang disampaikan di depan sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Rahasia Negara dalam rapat dengar pendapat di ruang rapat Komisi I.
Kepada para anggota Panja mereka menegaskan, jika pemerintah dan legislatif tetap berkeras mengegolkan dan mengesahkan RUU itu pada masa akhir periode kerja DPR dan pemerintah September 2009 mendatang, Masyarakat Pers Indonesia mengancam akan melakukan perlawanan. Pengesahan dan pemberlakuan RUU Rahasia Negara, seperti dirumuskan sekarang, diyakini bakal menjadi kado buruk bagi masyarakat oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta legislatif tepat di akhir periode masa kerja mereka, 2004-2009 sekarang.
“Memang kami akui ada perbaikan, namun rumusan RUU yang ada sekarang masih kontraproduktif terutama bagi upaya penegakan demokrasi dan HAM, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pemberantasan korupsi, serta kebebasan pers,” ujar Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi.
Selain Agus, sejumlah kalangan yang datang mendeklarasikan penolakan mereka antara lain Leo Batubara, Abdullah Alamudi, dan Wina Armada dari Dewan Pers, Nezar Patria dari Aliansi Jurnalis Independen, serta perwakilan Serikat Penerbit Suratkabar, Persatuan Wartawan Indonesia, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Agus menambahkan, pengesahan dan pemberlakuan aturan tentang Rahasia Negara yang ada sekarang hanya akan menjatuhkan posisi Indonesia di mata dunia, sebagai sekadar negara yang menerapkan aturan kerahasiaan negara yang melenceng dari standar internasional tentang “hak untuk tahu” (right to know) dan “kerahasiaan negara” (state secrecy). Kondisi macam itu tentu saja menurut Agus bakal menjadi kampanye buruk terhadap pemerintah, yang pada akhirnya akan berdampak pada isu lain macam daya tarik pihak asing berinvestasi di Indonesia, industri pariwisata internasional, dan banyak hal lain.
“Kami bukan mau menafikkan kerja keras pembahasan yang dilakukan selama ini. Kami hanya menolak pengesahan RUU Rahasia Negara sesuai rumusan yang ada sekarang sekaligus menuntut DPR dan pemerintah menunda untuk melanjutkan pembahasannya lagi di pemerintahan dan DPR periode mendatang,” ujar Agus.
Dalam pertemuan itu, Leo Batubara juga menilai ketentuan yang ada dalam RUU Rahasia Negara sekarang masih berparadigma otoriter serta mengancam kemerdekaan pers dan juga kebebasan untuk berekspresi. Penilaian itu menurutnya juga pernah dia sampaikan ke Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono saat datang ke Dewan Pers awal bulan lalu.
“Adalah sangat paradoksal ketika dalam dua putusan sebelumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan yang dapat membredel pers dalam UU Pemilu dan UU Pilpres sebagai aturan yang inkonstitusional. Namun kenapa sekarang aturan sejenis muncul lagi dalam rumusan RUU Rahasia Negara,” ujar Leo.
Leo mencontohkan rumusan pasal 49 dalam RUU Rahasia Negara, yang memungkinkan adanya sanksi terhadap korporasi termasuk perusahaan media massa. Dalam pasal itu disebutkan, korporasi dapat ditetapkan berada di bawah pengawasan, dibekukan, dicabut izinnya, dan bahkan dinyatakan sebagai korporasi terlarang jika melanggar aturan rahasia negara. Belum lagi, tambah Leo, terkait pasal 12 RUU Rahasia Negara, yang menyebutkan standar, prosedur, dan ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan rahasia negara dirumuskan dan ditetapkan presiden serta akan diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah.
“Tolong dipahami, kami bukan menolak keberadaan aturan tentang rahasia negara. Kami hanya menolak RUU Rahasia Negara yang ada sekarang karena kami menilai dengan RUU ini justru masyarakat yang disasar, bukannya pengelola dan penggunanya,” ujar Wina Armada.
Tanggapan panja
Menanggapi penolakan itu, sejumlah anggota Panja yang hadir menyatakan RUU Rahasia Negara sudah lama dibahas dan pemerintah sendiri sudah bolak balik diminta untuk memperbaiki dan merevisi sejumlah pasal yang diajukannya. Sampai sekarang, menurut Theo Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar, sudah banyak perubahan dan perbaikan yang terjadi terhadap RUU itu, termasuk dilakukan dengan memfasilitasi masukan dari kalangan masyarakat yang disampaikan selama ini kepada mereka.
“Sejak awal proses pembahasan, bahkan di tingkat Panja pun dinyatakan terbuka padahal biasanya tertutup. Hal itu karena kami tidak ingin merusak UU KIP yang kemarin kami usulkan dan juga termasuk melindungi kebebasan pers, ” ujar Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Namun menurut Djoko, Dewan Pers harus juga mencatat, tuduhan soal ancaman terhadap kebebasan pers jangan cuma ditujukan kepada pemerintah atau DPR sebagai pembuat legislasi melainkan juga bisa dilakukan oleh pihak pemilik (owner) media massa sendiri.
Sementara itu Andreas Pareira dari Fraksi PDIP menyatakan bisa menangkap keberatan dan poin-poin penolakan dari Masyarakat Pers Indonesia. Menurutnya, draf RUU yang ada sekarang memang belum sempurna namun upaya perbaikan telah terus dilakukan selama ini. “Jadi jangan terlalu khawatir, itu janji kami. Kami selalu bersikap terbuka kok. Kalau memang masih ada masukan ya, sampaikan saja ke kami secara langsung, ” ujar Andreas.(Kompas.com)