Persoalan golput dalam sistem demokrasi memang menjadi ganjalan jika jumlahnya sangat besar. Golput yang besar diyakini mengganggu ketenangan legitimasi proses demokrasi. Itu sebabnya masyarakat sebaiknya didekati dengan dakwah yang mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya, dan bukan dengan fatwa.
Demikian antara lain pesan yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam tablig akbar Milad Ke-99 Persyarikatan Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Palembang di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (28/1). Tablig ini juga dihadiri Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan Novrizal Nawawi.
”Apalagi, ada hal yang tidak selalu bisa didekati dengan pendekatan fiqh atau kitab hukum dengan konsekuensi dosa. Karena agama tidak semata-mata soal hukum, tetapi juga akhlak dan moral. Di sinilah arti penting pendekatan dakwah untuk melihat masalah seperti persoalan golput yang tidak selalu melihatnya dengan dasar hukum agama halal-haram,” ujarnya.
Itu sebabnya, menurut Din, ia selalu mengajak warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak pilih sebagai manifestasi warga negara yang baik, apalagi untuk perbaikan. Artinya, tidak selalu terkait dengan problem halal-haram yang punya konsekuensi dosa.
Pengamat politik Islam, Bachtiar Effendy, menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tidak perlu mengeluarkan fatwa tentang golput. Jika ingin mendorong peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum, sebaiknya mengeluarkan anjuran untuk menggunakan hak pilihnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera M Anis Matta mengatakan, persoalan fatwa yang dibuat MUI harus diletakkan dalam konteks usaha untuk meningkatkan suara pemilih. (Kompas.com)