Pemerintah tak perlu takut kalau PT Freeport mengadukan Indonesia ke badan arbitrase internasional, sebagaimana terungkap dalam rekaman pembicaraan antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Dalam pertemuan di Pacific Place, Jakarta pada 8 Juni 2015 lalu seperti terungkap dalam rekaman yang diputar di Mahkamah Kehormatan Dewan, Maroef mengungkapkan, jika tak ada kejelasan mengenai perpanjangan kontrak perusahan Freeport, pihaknya akan menggugat Indonesia ke Badan Arbitrase Internasional.
“Dalam transkrip rekaman ada khawatiran kalau kasus Freeport dibawa ke arbitrase,” anggota DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas dalam diskusi Front Page yang digelar Kantor Berita Politik RMOL dengan tema “Indonesia Tanpa Freeport “di Kafe Dua Nyonya, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/12).
”Kenapa takut, justru Freeport melanggar kewajiban divestasi,” sambung anggota MKD ini.
Saat ini saham pemerintah di Freeport hanya 9,36 persen. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut harus melepas sahamnya 10 persen tahun ini. Sisanya hingga genap 30 persen, sampai akhir masa kontak 2021 mendatang.
Supratman menyayangkan Freeport hingga kini belum menawarkan divestasi saham tersebut ke Pemerintah. “Harusnya Menteri ESDM menegur dan menagih kewajiban divestasi tersebut,” tegasnya.
Dia menegaskan sikap partainya soal Freeport ini jelas. “NKRI dan kembali ke pasal 33 UUD 1945. Itu sikap Partai Gerindra,” demikiann Supratman.
Makanya, dia menambahkan mestinya tidak hanya 30 persen. Tapi saham Indonesia di Freeport harus mencapai 51 persen, seperti berlaku pada perusahaan tambang lainnya.”Newmont saja 51 persen, kenapa Freeport 30 persen. Ini ada diskriminasi,” tandasnya.