Foto : Alfian Kartim
Oleh: Iman Firdaus
Kain yang terbuat dari kulit kayu yang sudah hadir sejak 3500-4000 tahun silam, dianggap penghubung Tuhan dan manusia. Perlu pelestarian ekologis dan pewarisan keterampilan.
Usianya sudah menginjak 72 tahun. Kerutan di wajah dan rambut putih jelas terlihat. Namun sorot mata, pendengaran, bahkan kecekatan dalam membuat kulit kayu menjadi bahan pakaian memperlihatkan semangat yang tak pernah padam. Sofi, perempuan dari Lembah Bada, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, itu tak lain adalah salah seorang pembuat Fuya – sebuah karya kerajinan yang tak ternilai, merupakan warisan leluhurnya – yang kini makin langka.
Fuya adalah kain atau sarung yang bahan dasarnya kulit kayu Paper Mulberry atau dalam bahasa setempat dinamakan Bea, Ivo atau Saeh. Cara membuatnya, kulit kayu tersebut dikelupas dari batangnya, kemudian dilebarkan dengan cara memukul berkali-kali menggunakan alat pemukul dari batu. Sembari dipukul kulit kayu itu dibasahi agar lembek.
Setelah lebar sesuai yang diinginkan, kemudian disiram air lalu dibungkus daun pisang. Selembar Fuya bisa dihasilkan
dalam tempo satu hari. Setelah dikeringkan kemudian diberi motif dan warna yang bahannya diambil dari pewarna alami.
Meski terkesan mudah rusak, namun Fuya cukup awet. “Kain yang saya gunakan ini sudah 20 tahun usinya, “ kata Sofi sambil menunjuk kain coklat yang dia gunakan. Selain ada yang digunakan untuk pakaian sehari-hari, Fuya juga dikenakan untuk upacara adat.
Seluruh bahan alami terdapat di kawasan lembah yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Namun, kawasan ini sangat terpencil. Untuk mencapai Lembah Bada, tempat Sofi tinggal, butuh waktu delapan jam perjalanan dari kota terdekat, Poso. Kendaraan yang digunakan pun berganti-ganti, lima jam mengendarai kuda dan tiga jam berikutnya menggunakan ojek.
Tidak heran bila hasil kerajinan(Fuya) dari masyarakat Lembah Bada ini merupakan salah satu warisan dunia. Sebab, menurut peneliti kertas dari Jepang, Isamu Sakamoto, Fuya adalah keterampilan yang sudah dilakoni sejak 3500 sampai 4000 tahun silam, atau sejak zaman Batu Muda. “Fuya seperti situs yang hidup,” ujar Sakamoto. Dan pembuatan kain atau kertas dari kulit kayu ini, menurut Sakamoto, sudah jarang ditemukan lagi di dunia ini, selain di Indonesia.
Keunikan Fuya bisa menghasilkan bayangan motif (watermark) di permukaan kertas. Hal ini disebabkan alat pemukulnya yang terbuat dari batu terdapat motif bergaris. Padahal dalam sejarah pakaian, bayangan motif biasanya dihasilkan dengan cara dilukis, dicetak atau disulam, jadi bayangan motifnya terlihat langsung. Namun dengan bayangan motif dalam Fuya memberi bukti bahwa zaman batu pun sudah dikenal motif yang bisa menghasilkan bayangan, seperti dikenal pada masa sekarang.
Bukan hanya itu, teknik pembuatan kain ini pun mampu menghasilkan warna putih dengan teknik yang sangat tinggi. Kain putih dihasilkan dari pohon terpilih. Pada zaman dulu, kulit pohon yang menghasilkan warna putih sangat terbatas. Kebanyakan menghasilkan warna cokelat seperti dari pohon beringin yang tumbuh di beberapa tempat.
“Kain berwarna cokelat atau krem yang biasa digunakan di Indonesia, untuk kebutuhan sehari-hari dan dari kalangan biasa, “ujar Sakamoto. Namun Fuya yang berwarna putih memiliki makna khusus, yakni sebagai penghubung manusia dan Tuhan. Karena itu, di kalangan masyarakat Lembah Bada, ada syair berbunyi: Tuhan mengirim Fuya yang putih, sebagai penghubung antara Tuhan dan manusia.
Sayangnya, Fuya saat ini hanya bisa dipesan melalui nenek-nenek yang sudah renta, seperti Sofi. Generasi yang lebih muda di sana tidak bisa menghasilkan Fuya berkualitas tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan memutus generasi pembuat Fuya yang berkualitas.
Sementara Endang S Thohari, Ketua Harian PIRA (Perempuan Indonesia Raya) yang hadir sebagai pembahas meminta kepada pemerintah agar melakukan langkah perlindungan terhadap Fuya dengan cara melakukan analisa sosial budaya (socio cultural). “Fuya adalah ekonomi kerakyatan yang berbasis kearifan lokal,” katanya.
Karena menggunakan bahan dasar kayu, maka perlu adanya inventarisasi dan identifikasi kayu dalam usia berapa saja yang boleh ditebang. Hal ini untuk tetap menjaga kelestarian alam dan ketersediaan kayu tersebut bagi masyarakat setempat. Apalagi kawasan Lembah Bada yang masuk dalam Taman Nasional Lore Lindu, yang merupakan hamparan rumput yang luas, wajib dilindungi.
Di kawasan ini, selain hidup masyarakat pembuat Fuya juga situs megalitikum berupa patung batu berukuran raksasa yang hanya ditemukan di sana dan Amerika Latin. Maka, pelestarian Fuya sama artinya dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.
Pendekatan sosial budaya dan lingkungan menjadi sangat penting, justru agar tidak dirusak oleh kepentingan asing yang hanya memanfaatkan masyarakat demi urusan ekonomi semata. Ekonomi kerakyatan yang dikembangkan dalam pembuatan Fuya oleh masyarakat di Lembah Bada harus dilestarikan, sekaligus melestarikan lingkungan yang selama ini memberi hidup bagi masyarakat di sana.