Foto: Alfian Kartim
Oleh Agustaman
Dari sekedar coba-coba menjual Baruasa, kue khas Kendari, akhirnya pasangan suami istri Tagala dan Marhana kini bisa memperbesar usahanya dengan omzet sekitar Rp124 juta sebulan.
Bau harum kelapa yang disangrai sudah tercium begitu memasuki pintu pabrik UD Membiri di kawasan Lorong Danggar, Puuwatu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Keharuman bau khas kue makin semerbak ketika memasuki kawasan pabrik seluas 18 x 21 meter persegi tersebut. Di dalam pabrik, beberapa perempuan berseragam, lengkap dengan tutup kepala dan tutup mulut, terlihat sibuk membolak-balik parutan kelapa di wajan ukuran besar, yang ditaruh di atas sebuah kompor berbahan bakar minyak tanah. Sementara di sudut lain, beberapa pekerja sedang mengaduk adonan tepung beras. Ada pula yang membuat bulatan-bulatan dari adonan tepung yang sudah dicampur dengan gula dan kelapa sangrai, menghiasinya dengan wijen dan kacang mente, lalu dimasukkan ke dalam oven.
Begitulah kesibukan sehari-hari di pabrik kue Baruasa milik pasangan suami istri Tagala dan Marhana. Sudah sejak 2002 silam, Tagala dan istri berkutat dengan pembuatan kue kering khas Kendari. Kue Baruasa ini sekarang menjadi salah satu oleh-oleh khas Kendari, selain kue Bagea dan kacang mente. Padahal, pembuatan kue tersebut awalnya hanyalah usaha coba-coba yang dilakukan oleh Marhana, lalu dipasarkan oleh sang suami, Tagala.
Tagala mengawali ceritanya, kehidupan mereka dulu serba kekurangan. Sebagai sopir angkutan trans Sulawesi, hasil jerih payahnya tak selalu bisa menutupi kebutuhan hidup keluarga. “Suatu hari, ketika kendaraan saya berhenti di Rate Rate, saya beli 10 bungkus keripik pisang yang dijajakan pedagang di sana. Lalu saya titip ke toko swalayan Sinar Alfa di Kendari titip jual. Tak disangka, 2 hari saja keripik pisang itu habis terjual. Dari situ pesanan terus bertambah sampai 100 bungkus sekali taruh,” kisah pria kelahiran Bone, 29 Juli 1962, ini kepada tabloid Gema Indonesia Raya.
Rupanya pemilik toko tak puas jika Tagala hanya menaruh keripik pisang. Kepada Tagala, pemilik toko menanyakan apakah istri Tagala bisa membuat kue kering yang bisa dijajakan di toko swalayan tersebut? Ia teringat bahwa istrinya pernah membuat kue khas Buton dan Bugis, maka Tagala pun menyanggupi tawaran tersebut.
Sejak itu ia mulai membuat kue Baruasa. Sebelum kue ditaruh di toko, Marhana dan Tagala menawarkan kue buatannya ke para tetangga rumah. “Mereka bilang, (kue) ini sudah cocok dijual,” kata Tagala. Dari situlah, Tagala dan istri yakin, usaha yang mereka rintis bakal sukses. “Semula, kami taruh beberapa bungkus kue isi 12 seharga Rp 4.000 per bungkus di swalayan Sinar Alfa. Tadinya pakai bungkus plastik, terus ganti pakai toples. Kue kami ternyata laku terjual,” terang Tagala yang juga memasarkan kue keringnya ke kios-kios kecil di sekitar rumah kontrakannya di Membiri, Puuwatu, Kota Kendari.
Perlahan, pesanan kue makin meningkat. Hasil uang yang didapat diputar untuk memperbesar usaha. “Semuanya masih saya kerjakan sendiri. Suami yang bertugas mengantar ke toko dan kios langganan karena dia masih jadi sopir,” ujar Marhana.
Namun yang namanya usaha tak selalu berjalan mulus. Usaha kue Baruasa milik Tagala dan Marhana sempat berhenti karena ketakutan mereka tak punya izin usaha. “Waktu itu pemilik swalayan bilang, saya harus melengkapi usahanya dari Badan POM. Saya takut, apalagi waktu itu saya pikir Badan POM itu polisi. Makanya, kami sempat stop usaha. Modal kerja akhirnya habis untuk menutupi kebutuhan hidup,” kata Tagala dengan mata berkaca-kaca.
Beruntung, seorang tetangga rumah yang kebetulan anggota dewan, H. Rahim, berbaik hati memberi modal gratis Rp 4 juta untuk melanjutkan usaha.
Penyelenggaraan MTQ Tingkat Nasional 2006 di Kota Kendari nampaknya menjadi awal kesuksesan usaha suami istri ini. Para peserta dan tamu MTQ banyak yang mencari oleh-oleh khas Kendari, termasuk kue Baruasa. Karyawan yang tadinya hanya satu orang, kemudian ditambah jumlahnya. Mereka para ibu rumah tangga di sekitar rumah kontrakan Tagala.
Saat ini, karyawan UD Membiri sudah mencapai 25 orang. Mereka bisa memproduksi 400-500 bungkus kemasan kecil dan besar, terdiri dari isi 12, 24 dan 56 kue dengan harga mulai dari Rp 4.000 hingga Rp 28 ribu/bungkus. Usaha yang tadinya dikerjakan di rumah kontrakan, kini bisa dikerjakan di pabrik yang terbilang bagus untuk ukuran usaha UMKM.
“Kini, dalam satu minggu bisa habis 6 karung tepung beras, 2.000 butir kelapa, dan telur 1.050 buah per hari,” papar Tagala yang kini sudah memiliki satu armada mobil boks untuk mengantar kue ke seantero Kendari, bahkan sampai Makassar dan Palu. “Saya baru saja buka cabang di Palu, kerjasama dengan keponakan saya,” sambung bapak dua anak ini.
Kesuksesan usaha ini tentunya tak lepas dari bantuan perbankan. UD Membiri adalah mitra binaan PT Bank Muamalat Cabang Kendari. Sebagai mitra binaan, UD Membiri dapat bantuan pinjaman modal kerja dari Bank Muamalat tersebut.
“Sudah dua kali saya dapat bantuan modal usaha. Pertama kali dapat bantuan Rp 21 juta, Alhamdulillah sudah lunas. Kedua kalinya memperoleh Rp 300 juta yangh digunakan untuk pembuatan pabrik dan peralatan tambahan,” jelas Tagala yang usahanya pernah masuk daftar nominasi perusahaan penerima Paramakarya tahun 2011.
Tagala tampaknya belum puas dengan usahanya yang kini beromset rata-rata Rp 124 juta setiap bulan. Ia berharap agar usahanya bisa berlanjut dan makin membesar. “Anak bungsu saya memutuskan berhenti kuliah ilmu komputer karena mau membantu usaha bapak-ibunya. Maklumlah, kami ini tak pandai pembukuan, apalagi komputer. Biarlah dia yang jadi penerus kami karena kakaknya lebih senang jadi perawat,” tandas Tagala.