Oleh: Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Pemilihan Gubernur DKI tahap pertama telah selesai. Hasilnya, agak mengejutkan. Pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara), yang banyak diprediksi oleh sejumlah lembaga survei bakal memenangkan pilkada, justru kalah dari pasangan cagub dan cawagub Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Perolehan suara Jokowi-Ahok jauh di atas konstituen dua partai pendukungnya, yaitu PDIP dan Gerindra. Artinya, Jokowi-Ahok berhasil menarik suara independen (swing vote) dan bahkan mungkin juga konstituen partai lain.
Hal yang sama dialami Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilihan Presiden tahun 2004. Meskipun Partai Demokrat memperoleh suara kecil, SBY bisa memenangkan pilpres tersebut. Apa artinya?
Pilkada adalah ajang mempertaruhkan masa depan. Mereka ternyata tidak mengandalkan nasib masa depannya semata-mata kepada partai-partai politik, tetapi lebih kepada figur yang dipercayai mampu membawa masa depan yang lebih baik. Bahwa figur itu merupakan calon partai politik, tidak ada masalah. Dukungan banyak tokoh kepada Foke-Nara,ternyata juga tidak berarti.
Pelajaran pertama dari Pilkada DKI, faktor figur sangat penting. Partai-partai politik, yang mestinya menjadi sumber kepemimpinan nasional atau regional, tidak boleh lagi subjektif, tetapi di luar partainya juga banyak tokoh yang memiliki potensi sebagai pemimpin. Hal ini sudah tentu tidak untuk mengurangi peran partai politik.
Kalau di internal partainya ada tokoh yang potensial, yang memperoleh kepercayaan luas, memang layak diajukan. Pemilihan di internal partai pun harus dilandasi jiwa besar, bahwa pemilihan itu dilandasi semata-mata bagi kepentingan nasional, juga calon yang diajukan memiliki elektabilitas tinggi, termasuk di luar partainya. Kalau ternyata tidak memiliki elektabilitas yang tinggi, tidak mustahil hanya akan menjatuhkan kredibilitas partai.
Pelajaran kedua, setiap partai makin dituntut untuk melakukan pencarian bibit-bibit pemimpin, baik di internal maupun di luar partainya. Penemuan Jokowi dan Ahok dapat dikatakan hasil kecermatan kedua pimpinan partai, PDIP dan Gerindra, yang menemukan keduanya untuk dicalonkan sebagai pasangan gubernur-cawagub. Hal yang sama mestinya juga harus dilakukan oleh partai-partai lain.
Menjelang Pemilu 2014, baik untuk pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, langkah yang sama perlu dilakukan oleh semua partai politik. Bagaimana pimpinan partai-partai politik bisa mengajukan calon legislatif dan calon presiden yang memiliki elektabiltas setinggi mungkin. Sekali lagi, termasuk dari luar partainya. Sebab, kalau hanya mengandalkan konstituen partai, perolehan suaranya sudah dapat diprediksi. Baik Jokowi dalam Pilkada Gubernur DKI maupun SBY pada pilpres yang lalu, kemenangannya justru ditentukan oleh suara atau konstituen di luar partainya.
Pelajaran ketiga, partai-partai politik kita didorong makin terbuka. Dengan demikian, tidak menutup kehadiran bibit-bibit pemimpin di luar partainya, bagi kehormatan partai dan kepentingan nasional. Kalau hal ini terjadi, insya Allah kehidupan kepartaian kita akan makin sehat.
Rakyat juga tidak akan keliru memilih pemimpinnya. Sebab, calon pemimpin yang diajukan oleh partai-partai sudah sangat selektif, sebagai yang terbaik, baik dari luar maupun internal partai yang bersangkutan. Kualitas kepemimpinan nasional, insya Allah juga makin meningkat.
Inilah pelajaran yang sangat berharga dari Pilkada Gubernur DKI. *