Setelah persoalan Parliamantary Threshold, sebentar lagi Dewan Perwakilan Rakyat akan bersitegang menyoal Presidential Threshold. Malah, sejak kini besaran angka Presidential Threshold itu sudah menimbulkan beberapa faksi di DPR. Partai-partai besar seperti, Golkar menghendaki Presidential Threshold nanti juga besar, mencapai angka 30 %. Meski lebih sedikit, tapi angka yang relatif gede juga dimintakan Partai Demokrat, kira-kira 15 %. Sementara partai-partai kecil menghendaki angka persentase itu juga kecil.
Partai yang menuntut angka Presidential Threshold besar beralasan, untuk menguatkan sistem pemerintahan Presidensial. Semakin besar dukungan partai kepada calon Presiden semakin kuat juga posisi kekuasaanya, demikian sebaliknya.
Pernyataan itu disampaikan Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani pada acara diskusi mingguan, Rabu (23/5) malam di sekretariat Pimpinan Pusat (PP) Tunas Indonesia Raya (Tidar), Jl. Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan. Selain Muzani, diskusi yang membedah tema Syarat Electoral President itu menghadirkan Viva Yoga Mauladi, anggota Fraksi PAN DPR RI dan Hanta Yuda, peneliti pada The Indonesian Institute.
Dalam praktiknya, menurut Muzani, besar kecilnya dukungan partai tidak memengaruhi kekuatan seorang presiden. Apalagi sistem pemerintahan Indonesia menganut Presidensial, di mana seorang Presiden memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar, tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen.
“Presiden SBY didukung oleh sekitar 70 % suara. Nyatanya pemerintahan SBY tak pernah lepas dari guncangan. Dan itu datangnya malah dari dalam koalisi sendiri. Artinya, kuat tidaknya presiden bukan dari dukungan yang diperoleh”, kata Muzani menambahkan.
Karena itu, lebih baik partai yang mencapai Parliamentary Threshold bisa mencalonkan Presidennya. Karena yang dibutuhkan adalah sosok Presiden yang kuat. Bukan besaran dukungan kepada calon Presiden.
Pendapat Muzani ini dibenarkan oleh kedua narasumber yang lain. Meski tidak menyebut besaran yang diinginkan partainya, Viva Yoga setuju bila syarat 20% Presidential Threshold pada pilpres 2009 diubah dengan jumlah yang lebih kecil. Apalagi sudah terbukti dengan angka yang kecil pun tidak semua partai berani mencalonkan Presidennya. Seperti pada 2004, yang ketika itu Presidential Threshold-nya hanya 2,5%.
Sementara Hanta Yuda menganggap besaran Presidential Threshold tidak berkorelasi dengan kekuatan dan kekuasaan presiden. Apalagi, UU menyatakan bahwa presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa memberikan pendelegasian berapa besarannya.
Untuk menguatkan sistem presidensial, Hanta berpendapat, lebih baik pelaksanaan pileg dan pilpres bersamaan. Karena kecenderungan pemilih akan memilih partai yang mencalonkan presiden tertentu. Selain itu dilakukan pembatasan jumlah fraksi dan pengecilan dapil.