Jakarta – Partai Gerindra tidak menolak perubahan UUD karena UUD bukanlah sesuatu yang sakral. Partai Gerindra menginginkan kembalinya naskah historis UUD 1945 dari para pendiri bangsa dan hasil perubahan UUD berupa addendum.
Selasa siang, 17 April 2012, Fadli Zon Library, di Jalan Danau Limboto, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, kedatangan tamu penting. Mereka adalah Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas dan Bambang Soeroso (Ketua Kelompok DPD MPR RI) serta beberapa anggota DPD. Tamu ini diterima tuan rumah Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, yang didampingi antara lain Martin Hutabarat (Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI), Sadar Subagyo (anggota Komisi XI Fraksi Partai Gerindra), Amran Nasution (anggota Dewan Penasihat), Haryadi Dharmawan (anggota Dewan Pembina).
Silaturahim Partai Gerindra dan DPD RI ini terkait dengan wacana perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945 yang diusung DPD RI. Dalam kesempatan itu GKR Hemas mengatakan, meski UUD 1945 sudah mengalami amandemen pertama hingga keempat masih ada hal-hal yang harus dibenahi. Sebab, dalam perubahan konstitusi pertama hingga keempat masih banyak kepentingan yang bermain.
Dalam wacana perubahan kelima UUD ini, Hemas memastikan bahwa perubahan itu bukan semata-mata untuk kepentingan DPD RI melainkan demi kepentingan nasional. Setelah mendapat masukan dari para pakar, akademisi, dan masyarakat, Hemas mengatakan bahwa perubahan kelima UUD itu sudah menjadi kebutuhan. “Amandemen kelima UUD itu merupakan kebutuhan semua pihak,” ujar istri Sri Sultan Hamengku Buwono X itu.
Dengan perubahan kelima UUD, kata anggota DPD dari Jogjakarta itu melanjutkan, agar DPD bisa difungsikan dengan segala potensinya. “Untuk memosisikan DPD sesuai dengan konstitusi,” katanya.
Tak jauh berbeda, Bambang Soeroso menambahkan bahwa keinginan melakukan perubahan kelima UUD merupakan kristalisasi dari aspirasi masyarakat setelah melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Selain itu, materi amandemen kelima UUD sudah melewati pengkajian dan penelaahan 75 perguruan tinggi di Indonesia. “Melalui pengkajian dan penelaahan itu kemudian dirumuskan persoalan ketatanegaraan pasca amandemen keempat,” kata anggota DPD dari Provinsi Bengkulu itu.
Bambang menjelaskan, ada 10 isu strategis dalam amandemen kelima UUD, salah satu di antaranya adalah isu eksistensi DPD. “Pada waktu lalu, DPD lahir dari kompromi politik,” ujarnya. Dua isu strategis lainnya yang menonjol adalah isu sistem presidensial dan isu otonomi daerah.
“Kita ini menganut sistem presidensiil, tetapi presidennya justru tersandera. Sistem presidensial yang kita jalankan adalah sistem presidensial bercitarasa parlementer,” kata Bambang. Begitu pula dengan isu otonomi daerah. Indonesia merupakan negara kesatuan, namun terlihat sudah seperti negara federal. “Ini akan berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa,” ujarnya.
Bambang menyadari bahwa bergulirnya amandemen kelima UUD ini harus melalui proses politik, terutama di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Proses politik itu bergantung pada partai politik. Karena itulah, dalam mengusung amandemen kelima UUD ini, DPD telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah partai politik.
DPD menginginkan amandemen kelima UUD ini bisa dilakukan pada tahun ini. Pada medio November mendatang akan dilakukan pertemuan dalam sebuah forum bersama dengan fraksi-fraksi di MPR RI. “Kalkulasi kita pada 2013, partai politik sudah disibukkan dengan persiapan Pemilu 2014. Karena itu, waktu yang paling tepat untuk menggulirkan amandemen kelima ke MPR adalah 2012. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” kata Bambang.
Naskah historis
Menanggapi wacana amandemen kelima UUD, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengakui bahwa proses amandemen pertama sampai keempat penuh dengan pertarungan kepentingan. Ini terbukti pada Pasal 33 hasil amandemen dan hilangnya penjelasan. Dalam hal ini Partai Gerindra melalui manifesto perjuangannya telah menyatakan kembali ke UUD 1945.
“Kita tidak menolak perubahan, karena UUD bukanlah sesuatu yang sakral. Tapi kita menginginkan kembalinya naskah historis UUD 1945 dari para pendiri bangsa. Kalau kita lihat UUD yang sekarang tidak ada lagi jejaknya. Bahkan, seperti dilakukan mutilasi,” kata Fadli Zon. Selain itu, Partai Gerindra juga menginginkan agar perubahan atau amandemen itu berupa addendum. Perubahan yang telah terjadi seperti hadirnya lembaga Mahkamah Konstitusi atau Komisi Yudisial tetap berlaku.
Untuk itu, dalam UUD hasil amandemen digunakan tanda “bintang satu, dua, tiga, atau empat” untuk menunjukkan perubahan dilakukan pada amandemen pertama, kedua, ketiga, dan keempat. “Ini akan membingungkan. Kalau dilakukan perubahan yang kesepuluh atau ketigapuluh, maka bintangnya akan semakin banyak,” katanya.
Haryadi Dharmawan, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, juga menginginkan kembalinya ruh UUD 1945 yang dirumuskan para pendiri bangsa dan disahkan pada 18 Agustus 1945. “Ini adalah masalah sejarah bangsa, yaitu bagaimana kita melihat awal kesepakatan pada pendiri bangsa,” kata tokoh pergerakan pada awal reformasi 1998 itu.
Mantan ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia itu juga setuju dengan istilah addendum, bukan amandemen. “Yang terpenting, jiwa UUD 1945 harus ada lebih dulu. Karena itu perlu hati-hati melakukan perubahan. Kita letakkan pada sumber asalnya. Kalau perubahan mengikuti zaman silakan, namun jangan meninggalkan benang merahnya,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI Martin Hutabarat menambahkan bahwa kembali ke UUD 1945 tidak berarti secara penuh kembali ke teks UUD 1945, melainkan kepada jiwa UUD 1945. “Partai Gerindra siap membantu dalam upaya perubahan kelima UUD untuk kepentingan bangsa,” kata anggota Komisi III DPR ini.
Menanggapi sikap Partai Gerindra, GKR Hemas mengakui bahwa perubahan UUD sebaiknya dilakukan dengan addendum. “Saya kira kita setuju perubahan dengan addendum. Sehingga dengan demikian naskah UUD yang asli bisa terlihat dengan jelas,” ujarnya. BS
(partaigerindra.or.id)