AMERIKA SERIKAT TAK BISA CAMPUR TANGAN
Oleh : Amran Nasution.
Anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra,
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra
Bagi Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), pembangunan nasional itu sama artinya dengan pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan bagi seluruh warga bangsa dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing.
Soal ketergantungan kepada asing, memang selama partai ini berdiri di tahun 2008 seakan menjadi roh partai yang membedakannya dengan partai lain di Indonesia. Soalnya roh itu sudah lama hidup dan menjadi wacana bagi tokoh utama pendiri partai yang kini menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, bersama kawan-kawannya, terutama Fadli Zon.
Barang siapa membaca ‘’Kembalikan Indonesia!’’, buku yang ditulis Prabowo Subianto di tahun 2004 (Pustaka Sinar Harapan), akan menemukan pemikiran-pemikiran Prabowo tentang konsep ekonomi kerakyatan dan hubungannya dengan kemandirian dari pengaruh asing. Di situ jelas bagaimana Prabowo melihat kedaulatan Indonesia.
Bahkan di buku itu Prabowo telah menulis bagaimana ia melihat utang Indonesia, privatisasi, penjualan BUMN, dan peran IMF – lembaga keuangan internasional — yang negatif dalam krisis ekonomi 1998. Kesimpulannya, Prabowo menolak sistem neo-liberalisme di Indonesia. Bagi Prabowo dan kawan-kawannya sistem serba bebas yang kebablasan itu hanya akan menguntungkan asing, tapi merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Tentu saja pemikiran itu jauh dari sikap asal anti-asing apalagi chauvinisme yang sempit.
Apalagi belakangan terbukti sistem neo-liberalisme menyebabkan ekonomi Amerika Serikat terjebak dalam krisis tahun 2007/2008, dan sekarang terulang lagi. Eropa terjerat dalam krisis utang yang sangat dalam dan belum jelas bagaimana cara menyelesaikannya.
Dalam kondisi perekonomiannya yang sakit, Amerika Serikat yang pasca-perang dingin seakan menjadi penguasa tunggal dunia kini terseok-seok. Pemilu demokratis yang terjadi di negara-negara Arab di Afrika Utara dan Timur Tengah – dalam apa yang disebut sebagai Arab Spring atau Musim Semi Arab — ternyata berkembang ke arah yang lain, berbeda dengan apa yang diharapkannya. Dan terbukti Amerika Serikat tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam Pemilu di Mesir, Maroko, dan Tunisia, kelompok Islam telah memenangkannya – sesuatu yang tentu tak disenangi Amerika Serikat. Di Mesir, Partai Kebebasan dan Keadilan (the Freedom and Justice Party) milik Ikhwanul Muslimin malah menguasai suara dalam Pemilu itu hampir 50%. Disusul Al Nour, partai Islam dari kaum Salafis yang sangat konservatif, dengan sekitar 20-an persen suara. Kelompok liberal dukungan Barat terpuruk hanya dengan belasan persen suara.
Kemenangan partai-partai Islam itu tambah merepotkan Amerika Serikat karena ternyata bersamaan dengan itu di sana berkembang semangat anti-Israel. Jeffrey Goldberg, koresponden the New Yorker, membuat reportase di Bloomberg 29 November lalu, bagaimana keberanian para pemuda Arab di Mesir, Tunisia, Syria, dan Libya, melawan para rezim tiran yang menindas selama ini. Tapi menurut Goldberg, idealisme the Arab Spring yang mencintai kebebasan – karenanya mereka berani melawan para diktator – juga disertai semangat anti-Israel.
Ternyata Amerika Serikat tak melawannya. Pertemuan Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat John Kerry – didampingi Duta Besar Amerika Serikat untuk Mesir, Anne W.Patterson — belum lama ini, dengan para petinggi Ikhwanul Muslimin di Kairo menandai sebuah babak baru yang bersejarah dalam politik luar negeri Amerika Serikat.
Soalnya, Ikhwanul Muslimin pernah dianggap anti-damai dan melawan kepentingan Amerika Serikat. Selain itu, organisasi yang lama menjadi gerakan bawah tanah di zaman Presiden Husni Mubarak punya sejarah dalam berhubungan dengan kelompok militan (lihat Overtures to Egypt’s Islamist Reverse Longtime U.S. Policy, di the New York Times, 3 Januari 2012).
Yang hendak dikatakan dalam tulisan ini bahwa nasib negara kita ditentukan oleh kehendak rakyat kita sendiri dalam sebuah sistem yang demokratis. Kalau rakyat kita memang tak setuju dengan sistem neo-liberalisme yang menghisap – seperti dikampanyekan selama ini oleh Prabowo — maka Amerika Serikat, Inggris, atau Perancis, tak bisa campur-tangan. Buktinya: itulah yang baru saja terjadi di Mesir.
(GEMA INDONESIA RAYA, EDISI 10)