Anggaran yang selama ini disajikan secara seremonial setiap tahun tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Seperti ada pembiaran terhadap mayoritas rakyat yang hidup di daerah-daerah, wilayah tertinggal, dan pulau-pulau terluar. Kebijakan anggaran nasional tidak pro-rakyat seperti yang dicita-citakan untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan pembangunan.
Indikasi anggaran yang tidak pro-rakyat itu terlihat dari alokasi anggaran untuk, misalnya kementerian pertanian. Dalam APBN 2011, kementerian pertanian mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 16,8 triliun. Angggaran sebesar itu masih ditambah dengan anggaran untuk subsisi pupuk, subsidi benih, dan subsidi program yang jumlahnya sekitar Rp 32 triliun.
“padahal, mayoritas rakyat kita adalah petani. Tapi, kenapa anggaran untuk pertanian hanya sebesar itu,” ujar Sadar Subagyo, anggota komisi xi DPR RI dari fraksi Partai Gerindra, kepada Gema Indonesia Raya, selasa 8 pebruari 2011 di gedung MPR/DPR/DPD, jakarta. Sektor pertanian saat ini semakin mengecil, sementara dengan jumlah petani makin sedikit namun harus menghidupi banyak orang. Anggaran yang pro-rakyat, lanjut Sadar Subagyo, harus bisa menaikkan kredit program. “pro-rakyat itu kalau bisa menaikkan kehidupan rakyat dari miskin menjadi tidak miskin, dari tidak bekerja menjadi bekerja. Itulah anggaran yang pro-rakyat,” jelasnya.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Fary Djemi Francis, anggota komisi v DPR RI dari fraksi Partai Gerindra. Berdasarkan data, kementerian daerah tertinggal mendapat alokasi dana sebesar Rp 1,185 triliun. Dana sebesar itu untuk 183 daerah tertinggal. Sementara anggaran untuk badan penanggulangan lumpur sidoardjo, sebesar Rp 1,2 triliun. Padahal, dana itu hanya untuk mengurusi penduduk yang jumlahnya tidak lebih dari satu kabupaten.
“persoalannya, dimana kebijakan kita pada percepatan daerah tertinggal yang berkaitan dengan kemiskinan,” kata Fary Djemi Francis, kepada Gema Indonesia Raya, selasa, 8 pebruari 2011. Begitu pun anggaran kementerian perumahan rakyat sebesar Rp 1,7 triliun, tidak sampai satu persen dari total APBN 2011, padahal programnya langsung menyentuh rakyat.
Besarnya anggaran untuk badan penanggulangan lumpur sidoardjo juga menjadi sorotan Sadar Subagyo. Dia membandingkan dengan anggaran untuk bnp2tki sebesar Rp 246 miliar. Padahal bnp2tki mengurusi sekitar 2 juta lebih Tenaga Kerja Indonesia (TKI). “apakah itu pro-rakyat?” tanya Sadar Subagyo.
Menurut Sadar Subagyo, dana penanggulangan lumpur memang untuk rakyat. Namun penyebabnya adalah swasta. Itu artinya pro pengusaha. Sementara banyak TKI yang diperlakukan semenamena namun tak ada pembelaan karena tidak ada anggarannya. “pemerintah tidak memiliki nurani dan hanya untuk pencitraan saja,” ujarnya lagi.
Mengubah proses penganggaran Sadar Subagyo menambahkan, agar bisa pro-rakyat maka proses penganggaran mesti diubah. Selama proses penganggaran seperti selama ini maka anggaran tidak akan pro-rakyat. Proses anggaran berjalan selama ini, pemerintah mengajukan anggaran dan dpr menyetujui. Tugas dpr hanya sebagai elimi¬nator dalam politik anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Akibatnya, anggaran lebih berat ke pusat dibanding ke daerah.
Seharusnya, kata Sadar Subagyo, parlemen bisa menentukan alokasi anggaran berbasiskan kepentingan rakyat yang diwakilinya. “seharusnya pemerintah dan parlemen memiliki sistem penganggaran masing-masing yang dipertemukan dalam pembahasan APBN,” ujarnya.
Dengan sistem tersebut, pemerintah menganggarkan kebutuhan pemerintah pusat, sedangkan DPR menganggarkan kebutuhan daerah. Tidak seperti saat ini, hanya 30% dari Rp 1.200 triliun total APBN 2011 yang dianggarkan untuk daerah. Sisanya untuk belanja pemerintah pusat. “selama prosesnya seperti itu, anggaran akan berat ke pusat. Anggaran tidak mungkin pro-rakyat,” katanya lagi. Dia menjelaskan, sudah waktunya anggaran APBN diarahkan untuk kepentingan-kepentingan daerah-daerah. “untuk pro-rakyat, mau tidak mau, harus prodaerah. Namun, perubahan itu membutuhkan keberanian politik. Perubahan proses itu membutuhkan keberanian pemimpin nasional,” ucapnya.
Sependapat dengan itu, Fary Djemi Francis juga mengatakan setiap tahun anggaran selalu bertambah. Sejak tahun 2005 yang masih Rp 500 triliun, kemudian naik menjadi Rp 600 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp 700 triliun, kemudian Rp 900 triliun, sampai tahun 2011 yang total anggaran sebesar Rp 1.200 triliun.
“tapi, kemana kenaikan anggaran itu. Kebanyakan berputar di Jakarta dan kota-kota besar. Sementara untuk daerah tertinggal, daerah perbatasan, dan pulau-pulau terluar hanya mendapat kucuran-kucuran yang kecil,” katanya. Padahal, dalam prioritas rpjpn (rancangan pembangunan jangka panjang nasional) fokusnya adalah mempercepat daerah tertinggal, daerah perbatasan, dan pulau terluar. Tapi dalam kebijakan anggaran, prioritas itu tidak nampak. “ini merupakan pilihan prioritas dari pemerintah. Kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Fary yang juga anggota badan anggaran (banggar) DPR RI.
Karena itu, ketika menyampaikan pandangan fraksi atas RUU tentang APBN 2011, Partai Gerindra menyetujui RUU itu dengan catatan di antaranya tersedianya lapangan pekerjaan, mewujudkan kedaulatan pangan, mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak dan non pajak, memutus ketergantungan pada utang, investasi eksplorasi sumber-sumber migas baru, dan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.