‘’Tertangkap lima orang yang berencana menyadap kantor Partai Demokrat.’’ Begitu judul berita halaman satu koran The Washington Post, Minggu, 18 Juni 1972. Kantor partai oposisi itu terletak di kompleks perkantoran Watergate, kawasan barat laut Washington.
Dari sana cerita berkembang. Ternyata mereka itu bukan maling biasa. Ada sebuah konspirasi politik yang sangat besar di belakangnya. Dari investigasi yang dilakukan dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, terbongkar kemudian bahwa Gedung Putih terlibat dalam komplotan menggeranyangi kantor partai oposisi itu. Tak kepalang tanggung, Richard Nixon, Presiden Amerika saat itu dari Partai Republik, terbawa-bawa. Peristiwa inilah kemudian yang dikenal sebagai skandal Watergate yang amat terkenal itu.
Pada Selasa, 10 Oktober 1972, koran kedua terbesar di Amerika Serikat itu menulis bahwa agen-agen FBI telah memiliki bukti kalau penyadapan Watergate berasal dari kegiatan masif untuk menyabotase dan mematai-matai lawan politik demi kepentingan terpilihnya kembali Nixon sebagai presiden. Kegiatan haram itu dikendalikan para pejabat di Gedung Putih dan Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden (Committee to Re-elect the President), Tim Sukses Presiden Nixon.
Meski upaya menyadap kantor Partai Demokrat gagal, Nixon tetap saja berhasil mengalahkah Senator McGovern dari partai saingannya itu secara telak dalam pemilihan presiden, November 1972. Nixon pun dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat untuk jabatan kedua, Januari 1973. Tapi isu Watergate terus membuntutinya dan semakin lama semakin nyata memperlihatkan keterlibatannya. Kegigihan para wartawan – terutama Woodward dan Bernstein – memang menjadi batu sandungan utama menyeret kejatuhan Nixon.
Akhirnya, 8 Agustus 1974, Nixon terpaksa mengundurkan diri. Rupanya ia lebih memilih mundur daripada dijatuhkan. Soalnya, waktu itu di DPR telah matang sebuah gerakan untuk menjatuhkannya (impeachment).
Keberhasilan kedua wartawan The Washington Post – mereka beroleh penghargaan Pulitzer pada 1973 — tak lepas dari bantuan sebuah sumber rahasia yang oleh redaktur koran itu dijuluki Deep Throat, diambil dari judul sebuah film porno pada masa itu.
Di dalam All the President’s Men, film yang mengisahkan skandal Watergate dibuat pada 1976, sebagai adaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis Woodward dan Bernstein dua tahun sebelumnya, digambarkan bahwa kedua reporter kota The Washington Post itu selalu menemui Deep Throat, ketika mereka menemui jalan buntu dalam melacak skandal. Pertemuan mereka dengan Deep Throat digambarkan sangat rahasia, misalnya, dilakukan di lapangan parkir sebuah gedung perkantoran.
Siapa sesungguhnya Deep Throat? Nama itu sempat menjadi rahasia selama 33 tahun, sampai Mei 2005, Majalah Vanity Fair membongkarnya, mengungkap bahwa Deep Throat tak lain dari William Mark Felt, yang pada waktu peristiwa terjadi menjabat salah satu Wakil Direktur FBI, polisi federal Amerika Serikat. Baik Woodward mau pun Bernstein membenarkan Vanity Fair.
Kisah Mark Felt berakhir dengan manis. Akhir tahun lalu, tokoh di balik geger Amerika Serikat itu meninggal dunia karena stroke dalam usia tua, 95 tahun, di rumahnya di Santa Rosa, California. Nama pensiunan polisi federal ini akan selalu dikenang di balik kejatuhan Presiden Nixon.
Di Indonesia ada Irjen Pol. Herman Surjadi Sumawiredja, Kapolda Jawa Timur. Tapi berbeda dengan Mark Felt yang secara tersembunyi bekerja sama dengan wartawan untuk membongkar kecurangan Watergate dan berhasil, Kapolda ini menempuh jalan yang lebih gagah berani. Dia berusaha langsung membongkar kecurangan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jawa Timur. Dari hasil pengusutannya akhirnya ditetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Wahyudi Purnomo sebagai tersangka.
Sang Ketua KPU dituduhnya bertanggung jawab atas kecurangan yang terladi dalam Pilkada, yaitu dengan terjadinya penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Sampang dan Bangkalan sebanyak 345.034 pemilih. Berdasar DPT semula di kedua kabupaten itu terdapat 1.244.619 pemilih. Artinya, terjadi penggelembungan suara sebesar 27% lebih.
Lalu polisi pun turun tangan memeriksa di lapangan. Dari 128.390 pemilih yang sempat diteliti, ditemukan 29.949 kasus pemilih bermasalah, atau sekitar 23%. Dari nama-nama itu ada yang Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya sama, ada anak kecil belum berusia 17 tahun dan belum menikah, malah ada yang berusia 0 tahun sudah terdaftar di dalam DPT. Dengan pemilih siluman seperti inilah Pilkada Jawa Timur dilaksanakan dan dimenangkan sangat tipis oleh pasangan Sukarwo – Syaifullah Yusuf, diusung terutama oleh Partai Demokrat, partainya Presiden SBY.
Tentu saja tindakan gagah berani Irjen Pol. Herman terlihat konyol karena melawann arus. Jelas kasus itu bukan perkara kriminal biasa, tapi sebuah perkara politik, yang tentu saja ada konspirasi di belakangnya. Apalagi kecurangan Pilkada yang coba dia ungkap sama artinya dengan menggugat kemenangan pasangan Gubernur terpilih Sukarwo dan Saifullah Yusuf yang mendapat dukungan Istana.
Belum apa-apa sudah terlihat kejanggalan di sana-sini. Misalnya, begitu polisi mulai mengusut, tiba-tiba pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dipercepat satu bulan oleh Departemen Dalam Negeri dari skedul semula yang sudah ditetapkan, Maret 2009. Pelantikan tampak terburu-buru seakan mengantipasi pemeriksaan yang dilakukan Polda. Tersebar isu di sana bahwa percepatan itu atas perintah dari Presiden SBY.
Kemudian datang koreksi dari Badan Reskrim Markas Besar (Mabes) Polri atas tindakan sang Kapolda. Kepala Bareskrim menginstruksikan Kapolda agar menghentikan penyidikan kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur. Ketika Kapolda masih tetap membandel dan jalan terus, datanglah perintah serah terima jabatan. Ia dicopot lalu dimeja-kosongkan, digantikan Brigjen. Anton Bahrul Alam.
Menurut Kapolri, mengganti Kapolda adalah hak prerogatifnya, apalagi Herman akan pensiun dua bulan lagi. Tentu saja Kapolri benar. Mencopot Herman memang haknya. Hanya saja karena Kapolri adalah jabatan publik, hak itu harus dilakukan dengan transparan dan tidak sewenang-wenang.
Apalagi kalau terbukti kelak bahwa pencopotan Irjen Pol Herman untuk menutupi sesuatu perkara berbau politik, yang mirip kasus pembobolan kantor Partai Demokrat di kompleks Watergate tadi. Alangkah malangnya nasib seluruh polisi di Indonesia kalau kelak terbukti mereka digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan.
28 Juta Nama Fiktif
Apa pun kata Kapolri, motif pencopotan Herman sangat jelas di mata publik, yaitu karena dia mengusut kecurangan Pilkada Jawa Timur. Betapa tidak? Begitu Herman digantikan Brigjen Anton Bahrul Alam, Kapolda baru itu langsung membuat pernyataan bahwa kasus Pilkada Jawa Timur belum ada tersangkanya.
Padahal status tersangka sudah dikenakan Herman selaku Kapolda yang syah pada waktu itu terhadap Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi Purnomo. Bagaimana mungkin Kapolda baru menyatakan perkara itu belum punya tersangka?
Menurut KUHAP, sebuah perkara harus diteruskan ke pengadilan atau kalau tak ada bukti yang cukup, boleh dilakukan SP3 alias penghentian pengusutan. Jadi tak pernah dikenal suatu perkara yang sudah masuk tahap penyidikan karena sudah ada tersangka, dimentahkan kembali, menjadi belum ada tersangka. Perkara dalam tahap penyidikan dimundurkan kembali ke tahap penyelidikan.
Kenapa kasus itu tak diteruskan saja ke pengadilan sehingga pengadilan yang berlangsung secara terbuka akan menentukan tersangka bersalah atau tidak? Kalau memang Herman salah dalam menetapkan Ketua KPUD sebagai tersangka maka tersangka akan dibebaskan pengadilan. Klir.
Sekarang yang terjadi lain. Herman dic opot, perkara pemalsuan DPT Pilada Jawa Timur dimentahkan. Tindakan ini jelas merendahkan martabat polisi. Masa seorang Kapolda dengan pangkat Inspektur Jenderal dengan bintang dua di bahu tak mampu hanya untuk menentukan seorang tersangka dalam sebuah perkara, sampai-sampai harus dikoreksi oleh Mabes Polri? Ini betul-betul memalukan. Selama ini seorang Kapolsek dengan pangkat kapten saja sudah punya kemampuan menetapkan seorang tersangka.
Tapi satu hal yang pasti dari kasus ini: upaya Inspektur Jenderal Herman untuk membongkar kecurangan Pilkada telah gagal. Seakan putus asa, tahu bahwa perkara manipulasi DPT Jawa Timur dimentahkan, akhirnya Herman menyampaikan permohonan berhenti sebagai polisi. Akhir perjalanan karir Herman tak semulus Mark Felt, sang Deep Throat.
Ternyata gerakan Herman berbuntut. Sekarang terbongkar bahwa para pemilih siluman bukan cuma monopoli DPT dalam Pilkada Jawa Timur. DPT untuk pemilihan umum legislatif 9 April mendatang, ternyata disesaki sejumlah pemilih siluman. Itu ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lainnya, atau terjadi nyaris di seluruh wilayah Indonesia.
Kabar yang beredar menyebutkan di seluruh Indonesia ada 28 juta nama fiktif yang sudah diselundupkan ke dalam DPT. Nama-nama itu tentu tak akan ikut memilih dalam pemilihan umum. Tapi pencantumannya dalam DPT untuk kepentingan salah satu partai politik dalam pemilihan umum legislatif dan calon presiden dalam pemilihan presiden mendatang. Dengan cara ini Pemilu belum berlangsung, 28 juta suara sudah ada di kantung. Luar biasa. Disebutkan itu semua terjadi dengan melibatkan oknum-oknum KPU dan KPUD.
Bila cerita ini benar, maka kisahnya malah lebih parah dari skandal Watergate. Coba, skandal Watergate baru merupakan upaya menyadap kantor Partai Demokrat oleh pendukung Presiden Nixon, tapi segera ketahuan. Artinya, penyadapan tak pernah terjadi. Sementara itu, Pilkada Jawa Timur dengan DPT fiktif sudah terjadi, dan DPT fiktif untuk Pemilu 2009, sudah terbongkar di mana-mana.
Melihat luasnya magnitude yang terjadi dan sikap malas-malasan dan meremehkan dari KPU dan Pemerintah – dua pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus DPT – adalah sangat diragukan masalah DPT siluman ini bisa diselesaikan sebelum Pemilu 9 April berlangsung.
Padahal isu adanya konspirasi di balik suara siluman dalam DPT ini sejak beberapa bulan lalu telah beredar luas dari mulut ke mulut, dari SMS ke SMS. Disebutkan persiapan dilakukan dengan komprehensif dan rekayasa yang rapi. Masyarakat, misalnya, telah dijejali informasi bahwa partai tertentu sangat populer, sekali pun sesungguhnya infrastrukturnya hancur-hancuran. Imej dibangun bahwa partai itu dan calon presidennya akan menang besar dalam Pemilu. Guna keperluan itu, antara lain, digunakan lembaga polling yang bisa dibayar.
Sampai sejauh ini bukti-bukti ke arah itu memang belum lengkap. Tapi yang sudah terbukti di mana-mana ditemukan nama-nama fiktif di dalam DPT. Ini bukanlah suatu kecelakaan. Melihat intensitas dan polanya, ia tampaknya hasil dari sebuah rencana yang matang.
Di Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya, ribuan pemilih fiktif ditemukan Panwaslu setempat. Mereka terdiri dari anak-anak yang belum punya hak pilih, lalu ribuan lainnya adalah orang yang sudah meninggal. Dari sini saja sudah terlihat bahwa semuanya dilakukan dengan sengaja dan sistematis, bukan kecelakaan. Apalagi nama siliman itu ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, meliputi jutaan suara fiktif.
Daftar Pemilih Tetap dibuat oleh KPU. Tapi sumber datanya (DP4) berasal dari Departemen Dalam Negeri yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Mardianto. Bekas Gubernur Jawa Tengah ini dikenal amat dekat dengan Presiden SBY.
Mestinya DP4 itu sudah akurat karena tiap nama dilengkapi nomor induk kependudukan (NIK). NIK merupakan bagian dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang juga berada di bawah kekuasan Menteri Dalam Negeri.
Pada kenyataannya yang ditemukan sekarang di mana-mana DPT itu diisi oleh nama ganda dengan NIK yang sama. Malah ada pula satu NIK dipakai banyak nama. Di beberapa daerah di Jawa Tengah ditemukan sejumlah polisi dan tentara masuk /DPT. Malah DPT di Lamongan, Jawa Timur, mencantumkan nama Amrozi, terpidana mati terorisme yang sudah dieksekusi.
Siapa pelaku rekayasa? Presiden SBY sendiri telah menantang agar segera dibuktikan kalau dalam kasus ini ada rekayasan politik. Namun sebagaimana halnya berbagai kecurangan bermotif politik di berbagai negara berkembang , kasus ini sangat sulit terbongkar dengan tuntas. Biasanya dia baru terbongkar oleh rezim baru dan digunakan sebagai isu untuk menghancurkan rezim lama. Motifnya bukan lagi untuk menegakkan hukum melainkan terlalu kental oleh kepentingan politik.
Kasus DPT Jawa Timur, misalnya, mungkin bisa terbongkar kalau saja Irjen Pol. Herman tak dicopot sebagai Kapolda, sehingga perkara Ketua KPUD Jawa Timur Wahyudi Purnomo bisa diselesaikan di pengadilan yang terbuka untuk umum. Ia tidak terus-menerus menjadi bisik-bisik politik seperti yang terjadi sekarang.
Dalam skandal Watergate, sebenarnya Presiden Richard Nixon sejak awal sudah mencium kalau berita-berita eksklusif di koran The Washington Post bersumber dari FBI. Seperti ditulis wartawati Patricia Sullivan di The Washington Post, 20 Desember 2008, bahwa ketika itu Nixon sampai lima kali memerintahkan Direktur Interim FBI Patrick Gray untuk memecat Mark Felt karena dicurigai sebagai Deep Throat. Tapi perintah Nixon tak dilaksanakan karena Mark Felt berhasil meyakinkan Sang Direktur. Mark Felt rupanya lebih lihai daripada Nixon.
(Artikel Amran Nasution di SUARA ISLAM edisi 64, tanggal 3-17 April 2009)