Ekonom Partai Amanat Nasional, Dradjad Hari Wibowo menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi 10 persen yang dicanangkan calon Presiden Prabowo Subianto masih masuk akal.
“Ekonomi Indonesia sangat mungkin tumbuh 8 – 10 persen,” ujar Dradjad kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2009.
Dia menanggapi ambisi calon presiden Prabowo yang ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia 10 persen atau dua digit seperti China. Menurut Prabowo, jika ekonomi Indonesia tumbuh 7 persen per tahun, Indonesia akan tetap masuk kategori negara papan bawah pada 2065.
Dalam konsep pembangunan ekonomi yang dicanangkan Prabowo (Prabowonomics), konsep sekarang yang cuma menjadikan pemerintah sebagai regulator harus diubah.
Konsep Prabowonomics tertuang jelas dan detail, termasuk strategi mencapainya dalam bukunya “Membangun Kembali Indonesia Raya Haluan Baru Menuju Kemakmuran.” yang diluncurkan Kamis, 13 Maret 2009.
“Itulah bedanya saya dengan penganut paham neoliberalisme,” kata Prabowo.
Calon presiden RI dari Partai Gerindra mengingatkan pemerintah harus turun tangan menjadi lokomotif untuk menggerakkan perekonomian, seperti dilakukan China dan Singapura. Dengan begitu, ekonomi Indonesia bisa tumbuh seperti China.
Apalagi, kata Prabowo, negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam, sumber energi, dan pasar besar. “Indonesia harus lepas landas dengan pertumbuhan ekonomi 10 persen atau dua digit,” katanya.
Dradjad menilai ambisi Prabowo itu sangat mungkin bisa dicapai asalkan garis kebijakan ekonomi Indonesia diubah. Syaratnya, pemerintah memaksimalkan sumber ekonomi dan sumber dana yang ada benar-benar untuk ekonomi domestik, serta dengan basis linkage yang kuat antara industri dan pertanian.
Dia pun menunjuk contoh kebijakan ekonomi yang diambil China, Rusia, Argentina, Malaysia dan lainnya. Mereka bisa mencapai pertumbuhan 8 – 10 persen sangat bisa dicapai.
“Argentina yang penduduknya jauh di bawah Indonesia saja bisa tumbuh di atas 8 persen selama 2003 – 2007,” kata Dradjad. Itu bisa terjadi hanya karena Presiden Nestor Kirchner memutuskan untuk berhenti membayar utang pada 2002. Uang yang tadinya dipakai untuk membayar utang, dipakai untuk membangun pertanian, industri dan pasar domestik.
Namun, dia mengingatkan jika kebijakan ekonomi Indonesia tetap pro-konsensus Washington yang sangat neoliberal itu seperti dijalankan pemerintah saat ini, sulit mengejar pertumbuhan 8 persen. “Apalagi tumbuh 10 persen, sangat sulit.” (vivanews.com)