Lebih separuh dari nama anggota kabinet adalah aktivis parpol. Sebagian ada yang jadi fungsionaris, bahkan ketua parpol. Sebagian lain, kini harus wira-wiri ke daerah karena kapasitasnya sebagai caleg.
Soal aturan kampanye presiden/wakil presiden/menteri atau pejabat setingkat menteri hingga pejabat di tingkat bupati/wakil bupati, sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 14/2009. Pasal 10 misalnya, menyebutkan lama cuti menteri untuk kampanye DPR/DPD/DPRD paling lama satu hari kerja setiap minggu. Namun, seperti aturan pada umumnya, hanya menjadi macan kertas saja.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, kondisi kabinet Presiden SBY adalah implikasi dari sistem presidensial dengan koalisi besar. Menurut dia, secara teoritis, tingkat kesetiaaan terhadap presiden lebih rendah daripada kesetiaan pada partai politik sang menteri berasal. “Yang kita rasakan, sejak waktu lalu, kabinet sudah tidak efektif,” katanya kepada INILAH.COM, Selasa (24/2) di Jakarta.
Ia mencontohkan soal konstalasi parlemen yang sering tidak memiliki korelasi dengan parpol pendukung pemerintah di eksekutif. Sikap mendua dan cari aman parpol, sambung Saldi, kerap dijumpai dengan sistem presidensiil seperti saat ini. “Harusnya, begitu bergabung dengan kabinet, harus melepaskan jabatan fungsionalnya di partai politik,” tandasnya.
Persoalan yang kini muncul, sebenarnya telah terpikirkan dalam pembahasan RUU Pemilu Presiden beberapa waktu lalu tentang upaya mundur pejabat negara seperti menteri atau setingkat menteri atau pimpinan lembaga tinggi negara jika mencalonkan presiden. Kala itu muncul usulan sembilan bulan menjelang pendaftaran KPU, kandidat presiden harus mundur dari jabatannya. Tujuannya, agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Hampir separuh lebih kabinet pimpinan SBY memang berasal dari parpol yang sebagainnya juga menajdi caleg. Mulai dari Menko Kesra Aburizal Bakrie (anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar), Mensesneg Hatta Radjasa (anggota MPP DPP PAN), Mendiknas Bambang Sudibyo (anggota MPP DPP PAN), Menperin Fahmi Idris (anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar), Mensos Bachtiar Chamsyah (Ketua MPP DPP PPP), Menkum HAM Andi Mattalatta (Ketua DPP Partai Golkar), hingga Menteri Pertanian Anton Apriyantono (PKS).
Menbud dan Pariwisata Jero Wacik (Dewan Pembina Partai Demokrat/caleg Partai Demokrat Dapil Bali), Menteri Kehutanan MS Kaban (Ketua Umum DPP PBB), Meneg Pemberedayaan Perempuan Meutia Hatta (Ketua Umum DPP PKPI), Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi (Caleg Partai Demokrat Dapil Papua), Menteri Negara PAN TaufiK Effendi (Caleg Partai Demokrat Dapil Kalsel I).
Berikutnya, Meneg PDT Lukman Edy (Sekjen DPP PKB/Caleg PKB Dapil Riau), Menaker dan Transmigrasi Erman Suparno (fungsionaris PKB), Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asyari (PKS), Meneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP/caleg PPP Dapil Jabar III), Menegpora Adyaksa Dault (Caleg PKS Dapil Sulawesi Tengah) Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta (Wakil Bendahara DPP Partai Golkar).
Mantan Menteri Negara PAN, Faisal Tamin, menilai apa yang terjadi saat ini SBY seperti tidak menunjukkan profesionalitas kabinet. Menurut dia, fenomena rebutan klaim prestasi pemerintah seperti menunjukkan kabinet lebih mementingkan kepentingan partai politik daripada kepentingan umum.
“Ketika dijabat, maka di saat yang bersamaan harus menanggalkan kepentingan di luar negara,” tegas menteri era pemerintahan Megawati Soekarnoputri ini.
Faisal menegaskan, sikap negarawan harusnya lebih ditunjukkan oleh anggota kabinet maupun pemimpinnya dalam mengelola pemerintahan. Menurut Faisal, jika sikap negarawan dikedepankan, upaya meninggalkan tugas dan fungsi pokok sebagai menteri tidak terbengkalai. “Dulu sama sekalui tidak terpikir berpartai menjelang pemilu,” katanya. (inilah.com)