Penandaan surat suara yang sah harus kembali ke UU No 10/2008 tentang. Pemilihan Umum, yakni satu kali. Hal itu jika perpu mengenai contreng tanda gambar parpol dan nama caleg tidak disetujui oleh pemerintah.
“Ya, harus kembali ke UU, tanda pemilu hanya satu yang sah,” kata Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dalam dikusi bertajuk ‘Contreng-Moreng Regulasi Pemilu setelah Putusan Mahkamah Konstitusi’ di Hotel Sahid, Jl Jendral Sudirman, Jakarta, Rabu (4/2/2009).
Mengenai bentuk contrengan, lanjut Syamsuddin, tidak perlu dibakukan dan bisa fleksibel. Hal itu untuk menekan angka surat suara yang tidak sah dan mempermudah pemilih.
“Sebab kalau contrengan harus bagus, banyak suara yang tidak sah nantinya. Ini kan bukan seleksi masuk universitas, yang kalau membulatkan itu harus penuh,” kata Syamsuddin setengah bercanda.
Disinggung mengenai sosialisasi pelaksanaan pemilu, Syamsuddin menyarankan KPU tidak bekerja sendirian. KPU sebaiknya membuat MoU dengan lembaga pemerintah, LSM, maupun swasta, terutama dengan perusahaan media.
“Saya sudah mengatakan, bikinlah MoU dengan media, hutang dulu. Kan yang jadi masalah katanya Depkeu belum mencairkan dana,” pungkasnya.(Detik.com)