“Kita melihatnya dari sisi niat baik MUI saja, kalau dari sisi lain, kontroversi akan terus muncul,” kata Komaruddin Hidayat yang juga Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat dimintai tanggapan, Senin (26/1).
Komaruddin menilai sebagai lembaga yang mengeluarkan seruan moral mengharuskan MUI mengeluarkan fatwa haram. Jika fatwa sunnah, seruan akan kurang kuat.
“Barangkali untuk mudah dipahami bandingkan saja dengan fatwa haram rokok yang juga dikeluarkan MUI,” kata Komaruddin.
Menurutnya, fatwa haram rokok dilakukan demi melindungi dampak buruk dari rokok terutama terhadap kesehatan perokok pasif. Demikian juga fatwa haram golput dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup bernegara.
“Jika tak ada yang memilih, berarti negara akan ambruk karena tidak ada pemimpin. Ulama memang memiliki tanggung jawab pada bangsa dan negara. Jadi perlu dihargai fatwa MUI itu,” cetusnya.
Hanya saja, tegas Komaruddin, label haram otomatis gugur jika situasi tidak memenuhi syarat. Dia mencontohkan dalam hal Pemilu, boleh jadi orang tidak tahu partai politik atau caleg karena begitu banyak dan sosialisasi kurang.
“Ada kondisi tertentu yang bisa gugurkan, jadi isitilahnya nggak berdosa kalau nggak memilih,” terangnya.
Namun Komaruddin yakin dalam Pilpres, kekhawatiran golput sebenarnya tak terlalu berdasar, beda dengan Pemilu legislatif. Pasalnya dalam Pilpres, nama pasangan yang ikut berlaga hampir pasti diketahui semua orang sehingga sedikit alas an bagi pemilih untuk golput. (Mediaindonesia.com)