Terjun ke politik seraya terus berbisnis tak membuat Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo lelah dan letih. Keduanya masih berbagi kepedulian terhadap pendidikan dan pembangunan sosial.
Bagi kakak-beradik itu, kemajuan politik dan pendidikan harusnya seirama. Jika pendidikan maju, maka politik akan terpengaruh pula. Tapi, jika pendidikan mundur, akan lain jadinya.
“Prabowo dan Hashim, putra begawan ekonomi Profesor Sumitro Djojohadikusumo, suka membantu memberikan kontribusi dan bantuan dana untuk perbaikan kualitas pendidikan dan kualitas SDM,” kata Nicholay Aprilindo, advokat dan penasehat hukum Hashim dan Prabowo, yang juga alumnus Fakultas Hukum tahun 1986.
Prabowo dan Hashim sering dikritik para aktivis sebagai sosok yang elitis dan kurang dekat ke kaum intelektual muda maupun kaum marginal umumnya. “Hanya lingkaran Fadli Zon yang bisa menembus Prabowo dan Hashim. Mereka memang sudah kenal lama,” kata Umar S Bakry MA, Direktur Lembaga Survei Nasional.
Lingkaran itu, kata para analis politik, harus diperluas dan diperdalam jika jaringan sosial mereka ingin berkembang. “Prabowo perlu banyak mendengar suara kaum muda dari manapun mereka,” kata Umar.
Di Partai Gerindra, Prabowo membangun institusi yang difokuskan sebagai partai kader. Sedangkan di dunia usaha, Hashim bergerak seraya mencermati dunia politik yang bertambah para aktornya. Keduanya dengan kepedulian sosial yang tinggi.
Glenny Kairupan masih ingat ketika Hashim suatu ketika datang ke Akademi Militer Magelang. Dia melihat drum band yang dibelikan ayahnya, 30 tahun lalu, masih dipakai taruna AMN. Hashim langsung membelikan drum band baru bagi AMN dimana kakak kandungnya, Prabowo dulu jadi taruna militer.
“Hashim dan Prabowo sama dengan ayahnya, punya komitmen meningkatkan kualitas pendidikan. Di AMN, drum band sumbangan Hashim itu merupakan sarana belajar dan diapresiasi banyak orang,” kata Glenny Kairupan, Ketua Gerindra.
Hashim — lewat Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusomo — hingga kini telah memberi bantuan kepada Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Kristen Duta Wacana, dan satu SMA di Ungaran. Dia juga membina silaturahmi dengan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Hashim pernah mengagetkan dunia bisnis internasional pada Oktober 2006. Dia melego Nations Energy, perusahaan minyaknya di Kazakhstan, senilai US$ 1,91 miliar — aset perusahaan itu sendiri nilainya US$ 2,3 miliar. Tahun lalu namanya mencuat lagi karena masalah pencurian arca museum Radya Pustaka di Solo. Ia tertipu dan dirugikan orang asing yang menjual arca itu.
Kini Hashim dan Prabowo tak hanya berbisnis, tapi perduli politik. Ini akibat kondisi negara dan bangsa yang mengkhawatirkan mereka. Menurut keduanya, Indonesia sekarang memiliki potensi disintegrasi yang tinggi. Keduanya juga menangkap generasi muda tidak terlalu paham identitas bangsanya. Dari membaca maupun hasil polling, keduanya sependapat Pancasila seakan dikesankan tidak relevan lagi. Keduanya juga merasa kemerosotan ekonomi bangsa dan reformasi yang sudah berjalan 10 tahun tidak lebih baik daripada masa Orde Baru.
Seperti halnya mereka, Jusuf Kalla, Wapres dan Ketua Umum DPP Partai Golkar juga pernah mengakui capaian reformasi tidak sehebat Orde Baru. Itu kalau semua pihak mau jujur.
Dengan melihat realitas yang ada itu, Prabowo dan Hashim sedang menapak untuk berperan serta memajukan Indonesia melalui dunia politik dan bisnis di tengah percaturan demokrasi prosedural yang sengkarut. Pencalonan Prabowo membuat mereka menjadi sorotan publik atas kiprah mereka dalam meraih simpati rakyat. Sejarah, belumlah tamat. (inilah.com)